Kamis, 30 Juni 2011

Menaikkan Harga BBM Dinilai Lebih Baik

JAKARTA- Pemerintah lebih baik menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) agar perbedaan dengan harga BBM nonsubsidi kecil. Tak perlu ada fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan orang mampu haram membeli BBM bersubsidi.

Demikian diungkapkan pengamat peminyakan Kurtubi di Jakarta, kemarin.
Dibanding opsi pembatasan BBM bersubsidi hanya untuk rakyat tidak mampu, Kurtubi lebih memilih kebijakan menaikkan harga BBM. Kenaikan harga itu akan mengurangi jumlah subsidi dan memperkecil perbedaan harga nonsubsidi.
”Namun pemerintah harus menjelaskan kepada rakyat bahwa dana yang dihemat dari kenaikan BBM ini akan dipakai untuk infrastruktur atau program pemerintah lainnya” jelas Kurtubi, Rabu (29/6).


Dikatakan, jika APBN hampir jebol, pemerintah bisa menaikkan harga BBM bersubsidi Rp 1.000 dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500. Opsi pembatasan bagi orang mampu, pelaksanaannya lebih sulit dan pengawasannya lemah. Masalah subsidi BBM sudah ada sejak 30 tahun lalu.

”Kalau sekarang difatwakan haram, sulit diterima oleh nalar yang sehat,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui, walaupun APBN hampir jebol,  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum juga menetapkan kebijakan pengaturan BBM bersubsidi.

Padahal Kementerian Keuangan mendesak pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi secepatnya dilakukan, atau paling lambat tahun ini, agar defisit APBN tak lebih dari 2,1 persen. Hal itu disebabkan tren konsumsi BBM bersubsidi sudah lebih tinggi dibanding biasanya.

Awalnya, pemerintah mematok defisit sebesar 1,8 persen dalam APBN 2011. Target defisit itu terkait perubahan harga minyak mentah Indonesia, lifting, dan nilai tukar rupiah, sehingga terjadi perubahan subsidi listrik dan BBM.
Awal pekan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) berkunjung ke Kementerian ESDM untuk membahas budaya hemat energi. Usai kunjungan tersebut, MUI mengkaji fatwa haram bagi pengguna BBM bersubsidi atau premium.

Tidak Etis

Ketua MUI Amidhan menyatakan, dilihat dari segi hak, tidak etis apabila subsidi untuk orang miskin diambil oleh orang mampu.

”Mengambil jatah orang miskin itu bisa mengarah ke pelanggaran HAM,” kata Amidhan.
Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa bila seorang mampu membeli BBM nonsubsidi tapi tetap membeli BBM bersubsidi, maka hal ini juga berpotensi menimbulkan pemborosan.
”Karena mampu beli banyak, maka berpotensi terjadi pemborosoan, sementara itu di sisi lain ada rakyat yang sangat membutuhkan, karena sangat terbatas kemampuannya. Ini tidak adil namanya,” katanya.

Ma’ruf keberatan bila MUI dianggap dijadikan alat oleh pemerintah. Menurutnya MUI hanya ingin mengajak masyarakat bersikap proporsional dalam menggunakan bahan bakar, dan mengutamakan mereka yang berhak.

Kajian fatwa haram BBM bersubsidi tersebut langsung mendapat reaksi keras dari kalangan masyarakat. MUI dinilai tidak pada ranahnya apabila mengeluarkan fatwa soal BBM. Hal itu dipandang sebagai ranah kebijakan pemerintah yang tidak seharusnya dicampuradukkan dengan persoalan agama.
Terkait hal ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta pemerintah untuk menempatkan ulama secara bijak dalam menghadapi persoalan bangsa.

”Ulama diperlukan untuk memberi masukan bagi substansi kebijakan pemerintah, tapi pemerintah harus bertanggung jawab penuh untuk kebijakan yang akan mereka ambil,” kata Ketua Fraksi PKS Mustafa Kamal.
Dia mengingatkan, jangan sandarkan kebijakan pada ulama. Jangan jadikan ulama tameng bagi kebijakan pemerintah. ”Itu merendahkan ulama,” ujarnya.

Dia meminta pemerintah menempatkan ulama pada proporsinya. Pemerintah harus mengambil kebijakan secara mandiri. ”Soal BBM, ini kok malah seperti menaruh ulama di depan. Seharusnya pemerintah yang berada di depan,” tegas Mustafa.
MUI belum resmi memutuskan fatwa soal BBM. ”Itu hanya usulan, belum ditetapkan sebagai fatwa,” kata Amidhan. (bn,F4-43,25)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/30 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar